Kampiunnews| Hal yang kita takut-takutkan itu akhirnya terjadi. Piala Dunia U-20 batal digelar di Indonesia. Ini keputusan resmi FIFA. Jadi tidak ada lagi spekulasi, asumsi dan dugaan-dugaan. Itu berarti, sirna sudah mimpi jutaan rakyat Indonesia untuk bisa menyaksikan Piala Dunia U-20 di negeri sendiri. Hilang pula kesempatan tim garuda muda kebanggaan Indonesia mengukir sejarah di pentas dunia. Ini menjadi preseden buruk bagi sepak bola Indonesia di mata dunia, sekaligus menjadi sejarah yang memalukan dalam dunia sepak bola tanah air.
Euforia kita tentang Piala Dunia U-20 di tanah air berguguran. Padahal sudah tersurat mimpi untuk mengglorifikasi nasionalisme dalam aksi-aksi sepak bola dan memproklamirkan kebangkitan sepak bola Indonesia kepada dunia di pembukaan Piala Dunia, 20 Mei 2023, persis di hari Kebangkitan Nasional. Namun, semua ini tinggal kisah masa lalu. Mimpi besar itu tak bakal jadi kenyataan. Kita hanya bisa merasakan apa artinya bertepuk sebelah tangan dan betapa pahitnya menelan rasa mimpi yang pupus.
Kabar Buruk
Kita mendapatkan kabar buruk di hari Minggu, 26 Maret 2023. Saat itu FIFA membatalkan pengundian atau drawing Piala Dunia U-20 2023 yang rencananya bakal digelar pada 31 Maret mendatang di Bali. Adanya penolakan dan narasi kebencian terhadap Israel menjadi alasan bagi FIFA untuk berpikir ulang tentang Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20.
Ketua Umum PSSI, Erick Thohir bahkan langsung bertemua dengan Presiden FIFA. Lobi, diplomasi dan negosiasi dijalankan untuk menyelamatkan wajah Indonesia. Namun, ketidaksukaan terhadap tim Israel sudah menjadi alasan yang begitu dalam merasuki FIFA hingga terjadilah pembatalan itu. Indonesia tidak lulus menjadi tuan rumah yang bisa menaruh respek dan be friendly terhadap setiap peserta Piala Dunia U-20, termasuk Israel.
Dari ulasan sejarah sepak bola, saya mencerna ada beberapa pertandingan sepak bola level internasional yang dibatalkan entah dalam kancah Piala Dunia atau Piala Dunia Yunior. Alasannya adalah karena perang atau sebagai tuan rumah negara bersangkutan terserang virus penyakit yang berbahaya. Baru di dekade ini, ada turnamen Piala Dunia U-20 yang dibatalkan bukan karena perang dan apalagi penyakit. Tetapi karena persoalan attitude, tidak bisa menunjukkan sikap ramah dan respek pada peserta Piala Dunia yang lain. Ah memalukan kita!
Amis Politik
Pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 karena lapangan sepak bola kita penuh dengan amis politik. Hanya di negara ini yang para politisinya bisa mencampuradukkan adonan politik dan olahraga. Hanya di negeri ini pula yang para ormasnya mencampurbaurkan sepak bola dan ayat-ayat suci. Ketika sepak bola dipolitisasi dan dijadikan alat politik, maka rusaklah sepak bola kita.
Baru kali ini penolakan terhadap Israel begitu gencar. Mulai dari partai politik, tokoh-tokoh politik hingga ormas dan berbagai organisasi lainnya. Apakah karena mendekati tahun politik 2024? Mungkin saja. Padahal, tim Israel itu menjadi peserta Piala Dunia U-20 karena mereka lolos kualifikasi. Bukan karena mereka mendapatkan hadiah. Malah negara Palestina yang diagresi Israel tidak mempersoalkan keikutsertaan Israel dalam ajang Piala Dunia U-20. Lalu, mengapa kita yang sewot? Mengapa kita yang repot? Mengapa kita yang sok jadi pahlawan bagi Palestina?
Di dalam negeri ini, orang suka mencampuradukkan urusan sepak bola dan politik. Padahal keduanya berbeda kamar. Politik mestinya belajar dari sepak bola. Dalam lapangan hijau, ada sportivitas yang terbina, ada respek terhadap sesama pemain, lapangan hijau tidak berwarna tunggal karena dari berbagai suku bangsa, warna kulit, ragam budaya, bahasa dan agama yang berbeda, orang bisa membentuk tenunan warna-warni nan indah, menjadi sahabat dalam spirit solidaritas dan multikultural. Terlalu seringnya wajah sepak bola kita dinodai narasi dan aksi politik, maka orang sulit belajar dari lapangan hijau. Malah lapangan bola kita kerap menebarkan bau amis politik.
Mimpi yang Sirna
Sang garuda muda, Marselino Ferdinand lewat Instagram Story meluapkan kekecewaan dirinya. Ia mengunggah tangkapan layar dari laman resmi FIFA perihal pembatalan Indonesia jadi tuan rumah dengan disertai emohi menangis. Tak hanya itu, pemain yang kini memperkuat KMSK Deinze tersebut juga menuliskan kata-kata dalam bahasa Inggris. “Kami kehilangan mimpi besar kami. Ini bukan soal saya, ini soal mimpi teman-teman saya.”
Benar. Mimpi besar pemain sepak bola Indonesia U-20 untuk tampil di ajang Piala Dunia U-20 pupus sudah. Padahal itu adalah mimpi yang paling indah. Mereka sudah berlatih serius dan akan membuktikan itu di hadapan jutaan rakyat Indonesia dan seluruh dunia. Namun, mimpi itu sirna seketika. Bukan oleh orang luar atau negara lain, bukan. Tetapi mimpi itu dirusak oleh sesama bangsa sendiri, oleh mereka yang menyebut dirinya saya Pancasila saya Indonesia; oleh mereka yang disebut pemimpin publik; oleh anak-anak bangsa sendiri. Mereka-mereka ini lebih getol membela kemerdekaan Palestina dengan tega mengorbankan anak-anak sendiri. Mungkin inilah prinsip bebas aktif yang kebablasan.
Sepak bola Indonesia di ambang kekelaman. Ketua Umum PSSI, Erick Thohir hanya bisa bilang kita harus tegar. Sementara di dalam negeri sendiri masih banyak orang yang tega. Yah, tega membuat Indonesia batal menjadi tuan rumah karena begitu cintanya pada amis politik di lapangan bola.