Kampiunnews | Kuapang – Saat pemilihan kepala daerah (Pilkada), masyarakat sering kali terbelah karena perbedaan pilihan politik. Tak sedikit keluarga pecah, persahabatan retak, dan pertemanan hancur hanya karena mendukung kandidat yang berbeda. Fenomena ini terjadi di hampir seluruh pelosok Nusantara, termasuk di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Namun, di tengah perbedaan itu, ada satu hal yang seharusnya bisa menyatukan kita: sepak bola. Usai pesta rakyat dalam rangka menyambut Gubernur dan Wakil Gubernur NTT, masyarakat NTT kembali disuguhi pesta bola bertajuk Liga 4, memperebutkan piala El Tari Memorial Cup (ETMC). ETMC sendiri merupakan salah satu turnamen tertua di Nusantara. Saya bahkan memiliki kenangan pribadi dengan turnamen ini, saat saya masih duduk di bangku SMA Giovanni Kupang dan ikut bertanding di ajang bergengsi ini. Saat itu saya memperkuat tim PSK Kupang bersama Mathias Bisinglasi, Anton Kia, Bambang Supriadi, trio Fernandez, Lourens, Yos dan Lipus.
Sepak bola adalah pemersatu bangsa. Slogan ini telah berkali-kali dibuktikan oleh para pecinta bola. Saat masyarakat berkumpul di stadion untuk menyaksikan laga tim kesayangannya, semua perbedaan hilang. Mereka berangkulan, bertepuk tangan, dan meneriakkan yel-yel untuk mendukung tim yang sama. Namun, hari ini ada sesuatu yang berbeda.
Gubernur NTT, Melki Laka Lena, akan mengawali tugasnya dengan melakukan kick-off laga ETMC tahun 2024/2025 dan kompetisi Liga 4 Zona NTT. Sepak bola yang seharusnya menjadi alat pemersatu, kini mulai dipolitisasi. Fanatisme kedaerahan yang berlebihan semakin terlihat, bahkan mengancam persatuan di antara anak-anak Flobamora.
Salah satu contohnya adalah insiden di Liga Pelajar tahun 2024, di mana official dan pemain PSN Ngada U-17 mengamuk setelah tim mereka dikalahkan oleh Bintang Timur Atambua. Tidak hanya pemain lawan yang menjadi sasaran kemarahan, tetapi juga perangkat pertandingan dan fasilitas stadion. Stadion yang seharusnya menjadi saksi keindahan permainan sepak bola justru menjadi ajang amuk dan perusakan.
Kejadian serupa juga terjadi di laga ETMC Ende tahun 2025. Kali ini, para suporter Perse Ende bertindak tidak terpuji dengan mengejar-ngejar pemain dan pendukung PSN Ngada setelah tim mereka kalah. Tidak hanya teriakan dan cacian, tetapi benda-benda dilemparkan ke arah pemain dan suporter lawan. Beruntung, tidak ada korban jiwa, meskipun korban luka-luka cukup banyak. Intinya, mereka tidak terima timnya kalah.
Kerusuhan seperti ini tidak akan terjadi jika kepemimpinan wasit berjalan sesuai aturan. Seaneh atau seburuk apa pun keputusan wasit, pemain dan ofisial tidak boleh menyentuhnya. Perlindungan terhadap perangkat pertandingan adalah hal yang sangat penting, dan Komisi Disiplin Asprov harus bertindak tegas dengan memberikan sanksi sesuai aturan yang berlaku.
Sepak bola yang seharusnya menjadi alat pemersatu, kini justru menjadi pemicu perpecahan. Mengapa semua ini terjadi? Jawabannya adalah di Asprov PSSI NTT sebagai penanggung jawab. Jika hal ini tidak segera diatasi, bukan tidak mungkin kerusuhan yang sering terjadi di tingkat daerah akan merembet ke tingkat nasional.
Mari kita kembalikan semangat persatuan dan kebersamaan dalam sepak bola. Jangan biarkan fanatisme buta merusak olahraga yang kita cintai. Kita boleh berbeda dalam mendukung tim, tetapi kita tetap satu dalam menjunjung sportivitas dan persaudaraan.
Sepak bola harus kembali menjadi pemersatu, bukan pemecah belah.