Kampiunnews | Lima tahun terakhir adalah tahun dukacita bagi buruh migran NTT yang mengadu nasib di negara lain. Namun di publik NTT sendiri, orang merasa biasa-biasa saja ketika keranda-keranda kematian, peti-peti mati anak NTT berdatangan. Ada beberapa pihak yang berusaha menggugat kondisi ini. Mereka tidak saja berorasi, tetapi beraksi. Namun tidak cukup dengan pergerakan sendiri ini. Peti jenazah datang silih berganti. Keseringan itu menjadi biasa. Lalu, hanya ada ungkapan-ungkapan pasrah. Mungkin ini sudah jalan hidup mereka (para buruh migran).
Ironi
Pernahkah kita bertanya, mengapa anak-anak NTT tetap memilih jalan hidup sebagai buruh migran ke negara lain? Faktor ekonomi adalah alasan utama mengapa anak-anak NTT berbondong-bondong ke luar NTT sebagai TKI. Di NTT mereka merasa sulit mendapatkan pekerjaan. Lapangan kerja terbatas. Perputaran uang minim. Sementara kondisi keluarga yang pas-pasan secara ekonomi mendorong mereka untuk harus mencari uang di luar. Kebanyakan TKI adalah tulang punggung dan penyokong ekonomi keluarga. Jika sudah pakai logika ekonomi ini, maka segala cara bisa ditempuh. Itulah mengapa berbagai kasus kematian TKI NTT di luar negeri dan beragam penyiksaan tidak melahirkan efek jera bagi para pencari kerja ini.
Terkiat faktor kemiskinan, sepertinya ini jadi ironi bagi NTT. Pemerintah silih berganti. Setiap tahun, anggaran pembangunan untuk NTT triliunan rupiah. Belum lagi bantuan dari lembaga dan negara donor. Itu berarti, dengan dana yang ada sebenarnya persoalan kemiskinan, pengangguran, ketiadaan lapangan kerja, upah yang rendah, pendidikan rendah bisa diatasi. Namun, mengapa ini masih sulit di NTT? Malah saat ini kita dihadapkan pada sebuah ironi. Uang banyak mengalir ke NTT, tapi banyak orang NTT lebih suka mencari uang di negeri orang. Setiap tahun triliunan dana pembangunan dialokasikan ke NTT. Itu yang ada dalam APBD. Belum lagi dana DAU dan DAK yang langsung dikelola oleh kepala daerah di setiap kabupaten. Uang yang mengalir ke NTT pun datang dari donor agencies atau bantuan luar negeri. Ada banyak lembaga donor atau NGO Internasional yang bekerja di NTT. Musuh bersama hanya satu yakni kemiskinan NTT. Tapi kok, kemiskinannya makin awet?
Kabar Buruk
Sebanyak 8 Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Nusa Tenggara Timur (NTT), meninggal di Malaysia sepanjang Bulan Januari 2023. Data Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) NTT menunjukkan pada 2022 terdapat 106 PMI yang meninggal dunia. Dengan jumlah itu, NTT setidaknya menerima satu kiriman jenazah PMI setiap empat hari. Ironisnya, dari seluruh korban tersebut, hanya satu yang berangkat sesuai prosedur, sedangkan sisanya ilegal. BP3MI juga mencatat bahwa dari 106 orang itu, 104 di antaranya bekerja di Malaysia, satu orang di Singapura, dan sisanya bekerja di Gabon, Afrika. Pada 2021, ada 121 PMI pulang sebagai jenazah, sementara pada 2020 ada 87 orang, 2019 ada 119 orang dan 2018 ada 105 orang.
Nasib buruh migran NTT memang tak selalu indah kabar dari rupa. Tak selamanya hujan emas yang dipanen. Lebih sering hujan batu yang diterima. Namun, buruh migran kita tetap modalnya nekad. Keranda mati pun tak bakal menjerakan. Karena gambaran awal sudah digariskan. Merubah nasib mesti di tanah orang. Walau di kampung sendiri duit berdatangan. Lembayung duka adalah guratan nasib buruh migran NTT.
Efek Moratorium
Untuk memutus mata rantai migrasinya para buruh migran non prosedural dari NTT ke luar negeri, Pemerintah Provinsi NTT bereaksi cepat dengan melakukan kebijakan moratorium pengiriman TKI. Langkah moratorium ini dibuat untuk menghentikan sementara pengiriman TKI ke luar NTT. Tujuan penghentian sementara ini adalah untuk mengevaluasi perusahaan-perusahaan jasa pengiriman TKI, menata sistem pengiriman yang prosedural, mencegah pengiriman TKI ilegal sekaligus mempersiapkan TKI secara baik sebelum dikirim ke luar.
Moratorium pengiriman TKI perlu dicermati secara bijak. Untuk para TKI yang prosedural dan sudah siap bekerja di luar negeri, tidak ada alasan untuk menghentikan niat mereka. Mengapa? Karena secara prosedural mereka sudah mengikuti beragam persiapan baik administrasi maupun teknis. Maka mendorong mereka untuk bekerja di luar negeri dengan tetap memastikan keamanan dan kenyamanan mereka bekerja adalah tugas pemerintah. Mereka memiliki tanggung jawab yang tidak ringan karena mereka adalah tulang ekonomi keluarga. Banyak orang di kampung yang mengharapkan berkat dari pekerjaan mereka sebagai TKI. Mereka dapat membangun rumah, mengongkosi anak dan keluarganya bersekolah, membuka usaha, dll. Bahkan para TKI yang sedang bekerja di luar negeri pun harus tetap didukung dan didoakan pemerintah karena merekalah pahlawan devisa bagi NTT.
Yang perlu pemerintah pertegas dengan moratorium pengiriman TKI adalah pengiriman TKI non prosedural. Ini yang harus benar-benar diberantas. Tutup dan perketat semua pintu-pintu keluar bagi TKI ilegal. Tangkap dan proses hukum para calo TKI ilegal. Aparat sipil negara dan aparat keamanan yang terlibat perekrutan dan pengiriman TKI non prosedural harus ditangkap dan dihukum. Aparat pemerintah yang membuat dokumen-dokumen palsu dimoratorium dari jabatannya. Sosialisasi soal TKI prosedural harus lebih gencar baik melalui media massa, pendekatan pemerintahan maupun oleh para tokoh agama. Ini yang harus benar-benar pemerintah lakukan dengan moratorium ini. Jangan sampai moratorium pengiriman TKI prosedural berjalan, dan yang buruh migran non prosedural lolos terus ke negara seberang.