Kampiunnews|Maksud hati mencerdaskan anak bangsa, apa daya tak diangkat jadi pegawai dengan perjanjian kerja (PPPK). Bertahun-tahun mengabdi sebagai guru honorer dengan kondisi apa adanya, namun peluang terlewatkan ketika pemerintah ‘menutup mata’ dengan tidak membuka formasi PPPK. Padahal regulasi dari Kementerian Pendidikan sudah jelas. Sudah pula dikirim ke setiap Provinsi. Mengapa justru itu diabaikan dan dibikin seperti tidak penting oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam hal ini Dinas Pendidikannya?
Hingga hari ini, mimpi buruk terus menghantui 1.345 guru honorer di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Harapan ribuan guru honorer diangkat menjadi guru dengan status PPPK terancam pupus. Para guru calon PPPK ini tak kunjung diangkat karena formasi tidak dibuka oleh pemerintah Provinsi NTT melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT dengan alasan kekurangan anggaran. Pada hal, pembiayaan semua PPPK sudah menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.
Fakta menarik lainnya dikemukakan oleh Anggota DPR RI Komisi X, Anita Gah. Ia mendesak Pemprov NTT segera membuka formasi kepada 1.345 guru honorer di NTT. Pasalnya sebanyak 1.345 PPPK itu telah lulus passing grade pada tahun 2021 lalu. Sesuai edaran Kementerian Keuangan, yang lulus passing grade tahun 2021, diangkat menjadi PPPK pada Januari tahun 2022. Namun, oleh Pemerintah Provinsi NTT tak kunjung diangkat. Inilah yang membuat nasib para guru honorer terkatung-katung dalam ketidakjelasan. Padahal mereka terus membaktikan diri sebagai guru, yang tetap setia mengajar di sekolah-sekolah.
Tahun 2021 pula, Kementerian PAN-RB memberi kuota kurang lebih 8.000 guru honorer untuk Provinsi NTT dengan total anggaran sebesar 157 miliar. Namun ini juga tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh Pemerintah Provinsi NTT. Yang mana masih sekitar 1.345 guru honorer lolos passing grade tahun 2021 tidak diangkat. Lalu ke manakah perginya anggaran yang sisa dari total 157 miliar itu?
Sudah jelas-jelas pula sesuai Peraturan Menteri Keuangan, anggaran untuk PPPK itu berasal dari DAU spesifik dan hanya diperuntukkan bagi para guru honorer. Tidak boleh digunakan Pemerintah daerah untuk kebutuhan yang lain. Pertanyaannya, mengapa 1.345 guru honorer tidak angkat? Apakah karena ketiadaan anggaran? Lalu dana 157 miliar itu dipakai untuk apa saja? Apakah benar anggaran 157 miliar itu masih ada? Atau jangan-jangan sudah dialihkan untuk kegiatan dan urusan yang lain.
NTT memang lain. Mau menjadi berbeda dari yang lain. Ketika Kementerian Pendidikan membuka lowongan untuk pengangkatan 1 juta honorer, kuota itu justru diisi oleh Provinsi lain. Mereka responsif dan gercep (gerak cepat) mengisi formasi. NTT malah sebaliknya. Slow respon, banyak cuek dan merasa tidak penting. Padahal ada 1.345 orang honorer yang sudah mendapatkan kesempatan emas itu. Hanya pemerintah NTT malah tutup mata, tutup hati dan tidak membuka formasi.
Persoalan Pendidikan di NTT itu kompleks. Salah satu faktor yang berkorelasi dengan kualitas pendidikan di NTT adalah guru. Masih banyak guru di NTT termasuk guru honorer yang kesejahteraannya tidak diperhatikan pemerintah. Bagaimana mungkin kita berharap agar kualitas Pendidikan di NTT semakin baik jika para guru masih lebih banyak berpikir tentang cara mempertahankan hidup bersama keluarga. Belum lagi status para guru yang belum jelas seperti guru honorer. Maka kebijakan Pemerintah Pusat sudah tepat dengan memberikan peluang untuk mengangkat para pegawai honor menjadi pegawai PPPK. Ini tentu berkonsekuensi pada alokasi anggaran pusat untuk para honorer itu. Peluang emas. Namun, di NTT persoalan ini malah dianggap tidak penting. Pemerintah justru sibuk melakukan terapi yang salah atas persoalan pendidikan dengan memajukan jam sekolah di jam 05.30 pagi. Karena diagnosa salah maka terapi pun salah. Sekolah mulai jam 5 pagi agar peserta didik semakin berkualitas. Suatu bahan lelucon yang ditertawakan seantero jagad.
Persebaran guru yang tidak merata dan kekurangan guru-guru di sekolah-sekolah adalah juga kompeksitas persoalan Pendidikan di NTT. Karena itu, kehadiran para guru honor penting dalam menjawab persoalan ini. Namun, peluang agar kesejahteraan guru honorer ini menjadi lebih baik dengan menjadikan mereka berstatus PPPK justru tidak seutuhnya direspon Pemerintah Provinsi. Padahal anggaran untuk itu sudah dialokasikan pusat. Mengapa Pemerintah Provinsi NTT justru enggan? Benar-benar kerugian besar bagi para guru honorer di NTT ketika pemerintah Provinsi NTT tidak membuka formasi untuk mengakomodir mereka menjadi pegawai PPPK. NTT, nasib tidak tentu. Benar! Itulah yang dialami oleh 1.345 guru honorer hingga hari ini ketika nasib mereka menjadi tidak tentu oleh manajemen pendidikan yang buruk di provinsi ini.