Kampiunnews | Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat melalui Kepala Dinas Pendidikan Provinsi NTT, Linus Lusi menginstruksikan kepada 10 SMA/SMK yang ada di Kota Kupang untuk mulai melakukan pembelajaran jam 05.00 pagi. Keputusan itu diambil dalam pertemuan bersama dengan para kepala sekolah. Tujuannya adalah agar SMA di NTT bisa tembus 200 SMA terbaik nasional, dan lulusan SMA/SMK di NTT bisa kuliah di UI, UGM, ITS bahkan Harvard. Tujuan lain adalah untuk meningkatkan disiplin peserta didik, merestorasi Pendidikan di NTT, memacu semangat belajar.
Kebijakan ini sudah mulai dilaksanakan pada tanggal 27 Pebruari 2023. Riuh rendah suara-suara publik merespon pemberlakuan kebijakan ini. Bahkan sudah menjadi pembicaraan nasional. Para pakar turun gunung untuk memberikan pendapat dan pandangannya. Bahkan Menteri dalam kabinet pun turut berkomentar. Ada surat yang ditujukan kepada Presiden Jokowi dan Menteri Pendidikan untuk membatalkan kebijakan ini. Pertanyaannya, apakah kebijakan sekolah mulai jam 5 pagi ini hasil dari oleh pikir, olah rasa, olah karsa yang wajar dan waras? Mari kita bedah.
Ketidakwajaran
Dinas Pendidikan Provinsi NTT mendesain konsep sekolah mulai jam 5 dengan maksud untuk menjadi pembeda dari daerah lain di Indonesia bahkan dunia. Karena mau buat yang berbeda, yang lain, maka konsep ini dinilai tidak wajar, tidak sebagaimana biasanya. Jam mulai sekolah untuk SMA di Indonesia itu jam 07.00. Ini sudah berlaku umum dari dulu dan ada basis regulasinya, ada kajian scientific dan klinisnya. Namun, secara serta merta di NTT gubernur dan dinas pendidikan mendesain kebijakan ini. argumentasinya, dalam pertemuan bersama para kepala sekolah ada 10 SMA/SMK yang mau mengikuti ‘pendekatan baru’ ini. pertanyaanya mengapa tidak dimintai dulu kesepakatan orang tua dan peserta didik? Bukankah esensi pembelajaran berbasis kurikulum merdeka adalah mengutamakan kepentingan peserta didik?
Konsep dan kebijakan pendidikan yang tidak wajar ini menimbulkan berbagai ekses. Pertama, ada yang tidak wajar bagi peserta didik ketika mereka harus bangun lebih awal mengingat jam 5 pagi pelajaran sudah dimulai di sekolah. Itu berarti mereka harus bangun jam 4 pagi. Setelah itu bersiap-siap (mandi, berpakaian) lalu sarapan pagi. Setelah itu, ke sekolah. Bagi yang punya kendaraan sendiri atau orang tua memiliki kendaraan pribadi, maka dengan mudah mengantar anaknya ke sekolah. Tetapi bagi orang tua yang tidak mempunyai kendaraan, anak-anak harus ke tempat yang dilewati kendaraan umum (bemo/angkot/ojek). Itu berarti anak-anak mesti berjalan dalam kegelapan. Ada risiko soal keselamatan anak-anak dalam perjalanan. Ditambah lagi, di jam seperti itu (4.30 pagi) apakah kendaraan sudah mulai beroperasi? Jika belum, bagaimana nasib anak-anak ini? Ini tentu mencemaskan dan menggalaukan tidak saja bagi anak tetapi bagi orang tua.
Kedua, dengan bangun lebih awal efeknya adalah anak-anak bisa saja mengantuk di kelas. Karena kepagian bangunnya, maka suasana batin dan mood belum tentu baik untuk memulai pembelajaran jam 5 pagi. Apalagi dengan kondisi rumah yang jauh dari sekolah dan pengalaman cemas saat berjalan mendapatkan tumpangan ke sekolah. Hal-hal ini turut menyebabkan peserta didik tidak siap untuk mulai proses belajar jam 5 pagi. Tidak heran jika jam-jam pelajaran seharian adalah jam-jam yang melelahkan dan memicu rasa kantuk yang luar biasa.
Ketiga, bagi para guru ini adalah tantangan tersendiri. Sebagai yang memberikan teladan, para guru tentu sudah harus berada di sekolah sebelum jam 5 pagi. Anda bayangkan. Jam berapa mereka harus bangun, kapan mesti menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anaknya di rumah. Bagaimana jika guru perempuan masih mempunyai anak bayi atau anak-anak berusia TK – SD. Dalam kondisi macam begini, kehadiran mereka di sekolah di pagi hari itu tentu dalam kondisi psikis maupun fisik yang belum siap untuk mengajar.
Keempat, bagi orang tua kebijakan sekolah jam 5 pagi ini bukan perkara gampang. Karena ritme dalam rumah berubah. Ada beban psikis (kecemasan, ketakutan) ketika anak-anak harus ke sekolah di pagi buta. Apalagi tidak dengan kendaraan sendiri. Belum lagi mendamaikan anak-anak yang sudah harus ditinggal pergi bapak atau ibunya ke sekolah di saat dini hari. Ditambah lagi ada pekerjaan-pekerjaan tertentu yang biasanya dilakukan oleh anak-anak (mencari makanan hewan, membersihkan rumah, membereskan perlengkapan makan) pada akhirnya dikembalikan kepada orang tua. Untuk kalangan tertentu juga, waktu di pagi hari biasanya dimanfaatkan untuk mengikuti sholat di masjid atau misa di gereja. Dengan sekolah jam 5 pagi, otomatis rutinitas ini ditiadakan.
Ketidakwajaran-ketidakwajaran di atas yang diakibatkan oleh kebijakan yang tidak wajar justru mengganggu ekostistem pendidikan itu sendiri. Maka bagi saya tujuan-tujuan yang hendak dicapai dengan pemberlakuan sekolah jam 5 pagi ini mustahil terpenuhi justru karena aneka ketidakwajaran itu. Pada akhirnya kualitas belajar peserta didik bukan semakin baik tetapi bisa saja merosot. Semangat belajar bisa saja menurun dan kreativitas para guru untuk mengajar pun stagnan akibat beban psikis dan beban rumah tangga yang harus mereka pikul.