Kampiunnews | Dalam beberapa hari terakhir, sekolah jam 5 pagi ini menjadi trending topik di NTT, menggusur viralnya kasus Bank NTT, kasus ‘kuah kosong’ TPP untuk ASN dan problem tenaga honor. Apakah kebijakan sekolah jam 5 pagi ini suatu tindakan by design untuk pengalihan issu? Untuk pembentukan opini publik? Mungkin saja. Tetapi yang jelas, di ruang-ruang publik, di sosial media (yotubue, FB, WA, tiktok, twitter, IG), di media lokal dan nasional, topik ini menjadi viral dan ramai dibedah, dibahas, tentu dengan tambahan macam-macam bumbu dan joke.
Bagi saya, kebijakan sekolah mulai jam 5 pagi ini perlu dibedah dengan pisau analitis ‘kewajaran’ dan ‘kewarasan’. Tentu itu esensi suatu kebijakan publik. Mesti memenuhi minimal kualitas ini, kewajaran dan kewarasan. Apakah kebijakan sekolah mulai jam 5 pagi ini hasil dari oleh pikir, olah rasa, olah karsa yang wajar dan waras?
Banyak kalangan menilai kebijakan sekolah jam 5 pagi ini tidak punya dasar kajian yang rasional dan komprehensif. Kalau ada kajian rasional, maka ketidakwajaran dan ketidakwarasan itu bisa dicegah dan diminimalisir. Hal yang tidak logis adalah menghubungkan masuk sekolah jam 5 pagi dengan terbangunnya kualitas pendidikan dan meningkatnya kecerdasan peserta didik. Seolah-olah semakin awal jam sekolah, semakin mudah pintar peserta didiknya. Ini kan sesat pikir (fallacy). Padahal orang-orang waras paham betul faktor-faktor apa yang harus diperhatikan untuk mengasilkan lulusan yang bermutu dan meningkatkan kecerdasan peserta didik.
Ketidakwarasan
Pemerintah Provinsi NTT melalui Dinas Pendidikan mestinya punya grand desain atau cetak biru (blue print) pendidikan di NTT. Ini yang menjadi rujukan pengambilan kebijakan di aspek Pendidikan. Bukan kebijakan yang tiba-tiba muncul, yang mimpi semalam lalu keesokan dieksekusi. Untuk meningkatkan kualitas Pendidikan di NTT, agar lulusan SMA/SMK di NTT bisa masuk UI, UGM, ITS bahkan Harvard, supaya SMA/SMK di NTT bisa bersanding di 200 sekolah terbaik di Indonesia, maka rumusnya bukan sekolah jam 5 pagi. Bukan itu. Tetapi beberapa hal berikut ini:
Pertama, pemerintah dan Dinas Pendidikan harus mendesain program yang menghasilkan guru-guru berkualitas tinggi. Guru – guru di sekolah mesti memiliki integritas, komitmen dan tanggung jawab penuh dalam menjalankan tugas. Mereka harus memiliki kecakapan penguasaan materi, dan yang paling utama adalah memiliki kemampuan menerapkan metode pembelajaran siswa aktif. Karena itu, pemerintah harus juga memperhatikan kesejahteraan para guru, dan terus meng-upgrade kemampuan mereka melalui berbagai pengembangan kapasitas.
Kedua, faktor kepala sekolah sangat penting. Kepala sekolah mesti memiliki kemampuan manajerial yang handal. Sebagai manajer di sekolah, kepala sekolah harus paham manajemen sekolah; bisa membangun komunikasi dan koordinasi dengan guru-guru; sanggup menciptakan iklim yang kondusif dalam eksosistem pendidikan di sekolah. Karena itu, kepala sekolah haruslah dipilih dari antara yang terbaik, yang professional dan cerdas. Bukan dipilih atas dasar like and dislike atau karena pendekatan politik dan sentimen etnis dan agama.
Ketiga, untuk mendongkrak kualitas pendidikan di NTT, sarana dan prasarana serta fasilitas pembelajaran harus disiapkan dengan baik. Selain gedung sekolah yang layak, di sekolah harus ada laboratorium, ruang IT dan fasilitas penunjang lainnya. Tanpa sarana dan prasarana pendukung yang memadai, mimpi untuk wujudkan kualitas pendidikan yang bersaing dengan sekolah-sekolah di luar NTT hanyalah mimpi besar di siang bolong. Fakta hari ini, masih banyak sekolah-sekolah di NTT yang belum layak untuk proses belajar-mengajar karena terbangun seadanya. Kadang-kadang perlu dipertanyakan keberpihakan pemerintah dalam kondisi macam ini.
Keempat, eksosistem pendidikan yang baik memberikan ruang kontrol yang kuat secara berjenjang (dari gubernur, bupati/wali kota, dan kepala dinas pendidikan di semua tingkatan). Yang paling penting juga soal dukungan orang tua. Karena itu, demokratisasi di sekolah harus dibangun. Pihak dinas pendidikan tidak boleh menjadi pihak yang mau mengatur segalanya. Pihak sekolah juga tidak harus membeo untuk berbagai kebijakan dinas terkait. Orang tua perlu dilibatkan dalam berbagai proses pengambilan keputusan yang berdampak terhadap kepentingan peserta didik.
Kelima, untuk mengasilkan lulusan yang bermutu, pemerintah mesti berani mengembangkan boarding school (sekolah berasrama). Niat pemerintah untuk menjadikan 2 sekolah di Kota Kupang sebagai pilot project itu harus ditunjang dengan manajemen boarding school. Contoh pembelajaran berbasis boarding school seperti di seminari dan pesantren harus ditindaklanjuti dengan kajian-kajian dan diskusi ilmiah. Mesti ada ruang pendekatan scientific untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan pendidikan. Tidak boleh hanya karena dorongan yang sekejap, tiba-tiba, serta-merta tanpa memperhitungkan blue print pendidikan.
Kebijakan sekolah jam 5 pagi, yang kemudian direvisi menjadi 5.30 pagi tetaplah menjadi bola panas di kalangan masyarakat NTT. Ada pro dan kontra. Ada eksplanasi dan klarifikasi. Apapun narasi yang terbangun dalam kaitannya dengan itu, bagi saya kebijakan sekolah jam 5 pagi tetaplah layak untuk dipertanyakan bahkan digugat dari sisi kewajaran dan kewarasan.