Kampiunnews | Setiap tanggal 8 Maret kita merayakan Hari Perempuan Internasional. Apa yang bisa kita maknai dari momen semacam itu? Apa yang mau kita rayakan dari hari perempuan ini? Apakah kita merayakan kegelisahan dan ketertindasan kaum perempuan yang mereka alami setiap hari atau membangkitkan respek dan penghargaan terhadap kaum perempuan dengan segala keunggulan dan potensi yang mereka miliki. Pertanyaan-pertanyaan kecil ini setidaknya membantu kita mencari arti hari perempuan untuk diri kita, lingkungan kita, masyarakat kita dan tentu saja dalam relasi kita dengan kaum perempuan itu sendiri
Catatan kecil ini lebih mengarah pada sejauh mana kaum perempuan berperan dalam ruang partisipasi politik kita dan bagaimana mereka diberi ruang peran politis yang setara. Tak dimungkiri bahwa ruang partisipasi politik kita adalah ruang yang penuh ketimpangan, ruang dominasi patriarki, ruang maskulin. Padahal sejak awal, orang bijak seperti Aristoteles sudah berkata kehidupan politik tidak dapat dipisahkan dari umat manusia, karena menurutnya “Manusia pada hakikatnya adalah makhluk politik; sudah menjadi pembawaannya hidup dalam suatu polis.” Hanya dalam polis manusia dapat mencapai nilai moral yang paling tinggi. Di luar polis, manusia menjadi subhuman (binatang buas) atau superhuman (tuhan).
Menempatkan kaum perempuan dalam ruang politik adalah sebuah keharusan. Dalam ruang itu, perempuan tidak cukup hanya diberi peran sebagai penonton, penggembira dan figur di belakang layar. Perempuan mesti menjadi pemain, pelakon dan penentu kebijakan dalam ruang politik itu. Ini hanya dimungkinkan oleh beberapa hal. Pertama, kaum perempuan harus berusaha untuk tampil sebagai pemain dan pemeran lakon politik dengan keunggulan-keunggulannya. Kedua, sistim politik harus berwajah feminisme. Artinya, dominasi maskulin dalam ranah politik mesti disadari oleh kaum laki-laki sebagai hal yang tidak adil karena ada figur perempuan yang kualitasnya jauh melebihi kaum lelaki hanya saja mereka tidak diberi peluang yang sama untuk itu.
Saya teringat pada nyanyian yang dikumandangkan oleh para demonstran people’s power pada waktu menggulingkan Presiden Marcos, Tama na! Sobra na! Palitan na! (Cukup sudah! Cukup sudah! Kami menghendaki perubahan!) Kalau semua perempuan mengatakan, Cukup sudah! Cukup sudah! Kami menghendaki perubahan! Maka perubahan harus dimulai dari diri perempuan itu sendiri, sebagai bagian dari investasi identitasnya agar orang lain dapat mengatakan mereka sendiri telah memulainya. Tidak hanya itu, kaum lelaki juga mesti berkata, cukup sudah, cukup sudah, kita menindas dan membatasi ruang gerak politis perempuan karena mereka memiliki keunggulan dan bisa menjadi pemimpin yang baik dan bertanggung jawab.
Membangun dengan Hati
Perempuan dengan logika hatinya dinilai cocok untuk membangun bangsa ini. Dengan hatinya, jelas mereka memiliki perhatian yang lebih, memiliki kecermatan, ketelitian dalam bekerja, memiliki kelembutan untuk merespons persoalan, memiliki pendekatan seorang ibu. Sayangnya, keunggulan-keunggulan ini kadang tidak kita manfaatkan untuk membangun bangsa. Kita masih begitu percaya terlampau banyak pada keunggulan lelaki. Seringkali kegagalan para pemimpin kita yang nota bene adalah lelaki terjadi karena hati dan perhatiannya ditempatkan di belakang pikiran dan pemikirannya. Pikiran yang sarat dengan ambisi dan kepentingan pribadi baik yang tidak kasat mata seperti haus kehormatan, pengkultusan diri maupun yang kasat mata seperti penimbunan harta dan uang.
Padahal kaum perempuan telah mulai belajar memimpin ketika mereka mulai mengelola dapur agar terus berasap dan mengatur organisasi rumah tangga agar menjadi home bagi suami dan anak-anak. Kaum perempuan adalah pemimpin yang kreatif, mempunyai komitmen dan tanggung jawab, memiliki kemampuan merasakan, membaca situasi, inisiatif, sensitif, merasakan dan melihat dengan hati. Mengapa tidak kita akomodir untuk mengelola polis negara, provinsi, kabupaten, kecamatan dan desa-desa kita di Indonesia?
Merayakan hari perempuan saat ini adalah sebuah upaya mengambil sikap terhadap minimnya ruang politis dari sentuhan kaum perempuan. Peluang untuk memasuki ruang politis selalu terbuka. Namun, apakah peluang itu bisa ditangkap oleh kaum perempuan sendiri dan juga rela dibagikan oleh kaum lelaki? Masih ada jabatan struktural yang kehilangan ‘perhatian’ karena tidak ada pemimpin perempuan. Kiranya, ruang-ruang itu makin dibuka lebar untuk kehadiran kaum perempuan. Hal yang paling utama adalah memposisikan seorang pemimpin daerah, pemimpin struktur, pemimpin instansi berdasarkan profesionalisme, keunggulan, bukan berdasarkan perbedaan gender yang telah terpola memojokkan kaum perempuan.
Sudah saatnya kita berteriak lebih keras, Tama na! Sobra na! Palitan na! Kaum perempuan ingin perubahan. Laki-laki ingin perubahan. Masyarakat ingin perubahan. Provinsi dan daerah kita ingin perubahan. Bangsa kita menghendaki perubahan. Mengapa perubahan itu tidak kita mulai dengan memilih dan mempercayakan kaum perempuan menjadi pemimpin kita? Mengapa partai-partai politik kita tidak memberi ruang lebih besar bagi kaum perempuan mewujudkan keunggulan-keunggulannya?
Harapan ini harus terus dinyalakan agar pada saatnya ada api yang membakar kebobrokan sistim birokrasi dan pemerintahan kita, ada api yang menghangatkan rakyat yang ‘dingin’ karena kelaparan, kurang gizi, keterbelakangan, ada api yang memanaskan tungku-tungku produktivitas rakyat yang mengenyangkan rakyat dengan hati dan perhatian penuh dalam membangun. Api itu adalah kaum perempuan dan kita tentu butuh api untuk hidup kita saat ini. Mari kita berapi-api berkumandang