Kampiunnews | Rencana pemerintah memusnahkan pakaian bekas impor benar-benar meresahkan para pedagang. Betapa tidak, berjualan pakaian bekas atau thrifting itu sudah mereka lakoni bertahun-tahun sebagai jalan mempertahankan hidup, memperbaiki nasib dan meningkatkan pendapatan. Lantas seperti apakah logika thrifting itu dan bagaimana menyiasatinya?
Dongkrak Ekonomi
Cukup banyak pedagang pakaian bekas impor atau rombengan (RB) yang mungkin merasa kecewa dan kebingungan dengan kebijakan pemerintah melarang penjualan pakaian bekas impor atau thrifting. Mengingat berdagang RB sudah menjadi usaha dan pekerjaan yang dilakoni bertahun-tahun. Itu menjadi sumber pendapatan rumah tangga. Bisnis pakaian RB ini memang menguntungkan. Apalagi diminati oleh masyarakat kelas menengah ke bawah karena harga pakaian yang mudah dijangkau, sementara kualitasnya bagus.
Sebenarnya ada 2 faktor yang menyebabkan rombengan itu diminati. Pertama, karena faktor ekonomi. Orang berjualan rombengan sebagai cara mempertahankan sekaligus memperbaiki hidupnya. Kedua, soal trend. Rombengan punya segmen pasar tersendiri. Orang suka membeli rombengan karena bisa mendapatkan pakaian branded luar negeri hanya dengan harga murah. Jadi ada hukum pasar yang berlaku: supply and demand (penawaran dan permintaan).
Dari sisi peluang ekonomi, berdagang pakaian RB membuka peluang kerja, menyerap tenaga kerja dan memberikan kontribusi untuk ekonomi rumah tangga. Di sisi lain juga menjawab hasrat publik yang berpenghasilan pas-pasan namun bisa mendapatkan pakaian bekas impor dengan kualitas masih bagus. Artinya, dengan kalkulasi ekonomi, berdagang thrifting itu ada dampak positif bagi peningkatan ekonomi keluarga.
Jika dilihat dari skema dan alur thrifting, para pedagang di daerah hanyalah pemain kecil dari bisnis dan jaringan para pemain besar bahkan invisible hand di balik bisnis thritfting ini. Karena itu, dalam kasus thrifting ini, yang paling utama adalah menertibkan di hulu, menangkap mafia-mafia penyelundup pakaian bekas impor dari luar negeri agar tidak membanjiri Indonesia.
Terlarang
Beberapa waktu terakhir, kasus pakaian bekas dari luar negeri atau rombengan itu menghangat dan memanas lagi. Ini memicu komentar dari berbagai pihak, tak terkecuali Presiden Jokowi. Presiden Jokowi bahkan mengecam belanja pakaian bekas impor karena mengganggu industri dalam negeri. Menindaklanjuti arahan Presiden, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menilai usaha baju bekas impor itu merugikan para pengusaha tekstil dalam negeri dan membawa penyakit. Zulhas menyebut bisnis baju bekas impor ini telah mengakibatkan kerugian negara hingga miliaran rupiah dan menurunkan tingkat ekspor.
Penjualan rombengan ini memang sudah dinyatakan dilarang sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 40 Tahun 2022 tentang perubahan Permendag Nomor 18 Tahun 2021 tentang barang dilarang ekspor dan impor. Pada pasal 2 ayat 3 dinyatakan bahwa barang yang dilarang impor antara lain kantong bekas, karung bekas dan pakaian bekas. Barang-barang bekas itu dilarang diimpor karena berdampak buruk bagi ekonomi domestik, terutama UMKM serta buruk untuk Kesehatan penggunanya. Selain itu, dari aspek medis, pakaian bekas itu dilarang impor karena mengandung jamur yang bisa mengganggu Kesehatan.
Pertanyaan kita adalah apakah dengan larangan semacam ini sudah cukup? Saya melihat ada 3 persoalan krusial yang mestinya diselesaikan. Pertama, bagaimana membuat UMKM dalam negeri bisa menghasilkan tekstil atau konveksi yang berkualitas tetapi tetap dijual dengan harga yang mudah dijangkau publik, khususnya menengah ke bawah. Ini penting mengingat daya tarik rombengan adalah murah dan cukup berkualitas. Nah, peran pemerintah adalah memastikan bahwa industri atau UMKM dalam negeri bisa bersaing dengan memproduksi pakaian-pakaian yang menjangkau kelompok menengah ke bawah tetapi dengan kualitas yang baik.
Kedua, pemerintah atau regulator dalam hal ini Kementerian Perdagangan harus menyelesaikan persoalan di hulu. Thrifting bisa masuk ke dalam negeri melalui modus penyelundupan. Itu tentu melalui pintu-pintu masuk di tanah air. Maka peran bea dan cukai penting dalam urusan ini. Tetapi kita sadar bahwa Indonesia sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, cukup kesulitan mengawasi pergerakan barang-barang selundupan dengan keterbatasan sumber daya petugas dan sarana. Semakin banyak penyelundupan, maka penerimaan negara semakin berkurang. Ini tentu kerja-kerja mafioso. Maka pemerintah harus juga bersih-bersih mulai dari hulu. Jangan hanya berpikir di hilir.
Ketiga, tuntutan regulasi sudah jelas bahwa pakaian bekas impor itu dilarang. Artinya, penjualan pakaian bekas di tanah air itu dilarang. Lalu, bagaimana dengan nasib warga negara yang mempertahankan hidup dengan berjualan pakaian bekas impor itu? Nah, di sini butuh yang namanya kebijaksanaan. Pemerintah harus hadir untuk memastikan bahwa mereka-mereka yang kehilangan pekerjaan karena usaha berjualan pakaian bekas dilarang bisa mendapatkan peluang lain yang lebih baik. Mengapa? Karena dengan larangan berjualan rombengan maka pendapatan berkurang, ekonomi lesu, kehilangan pekerjaan yang bisa berdampak terhadap banyak hal domestik dalam rumah tangga. Rombengan memang tetap berada di atas pro dan kontra. Semoga dengan pikiran jernih kita bisa mencermati realitas ini.