Kampiunnews|Jakarta – Kasus Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE) yang menimpa sejumlah siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kota Kupang mendapat perhatian serius dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) Kota Kupang.
Kepala Dinas P3A, dr. Marsiana Y. Halek, membenarkan adanya kasus tersebut dan menegaskan bahwa pihaknya kini fokus memperkuat langkah-langkah preventif dan pemulihan bagi para korban.
Marsiana mengungkapkan, hingga tahun 2024 pihaknya telah menangani laporan dari delapan SMP di Kota Kupang yang terindikasi mengalami kasus serupa melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA).
“Upaya preventif kini lebih dimaksimalkan lagi, dengan monitoring dan evaluasi seluruh satgas di tingkat kelurahan hingga instansi. Kami juga berencana membuat aplikasi agar masyarakat lebih mudah melapor dan mendapatkan edukasi supaya kita tidak hanya jadi ‘pemadam kebakaran’, tetapi benar-benar mencegah kasus seperti ini terjadi,” ujar Marsiana Halek, Rabu (8/10/2025).
Kasus ini pertama kali terungkap melalui laporan dari salah satu SMP di Kota Kupang terkait perilaku tidak senonoh seorang murid.
Dalam pemeriksaan, petugas UPTD PPA menemukan adanya grup WhatsApp bernama “Grup SMP se-Kota Kupang” yang berisi percakapan, gambar, dan stiker berbau pornografi.
“Dari grup itu diketahui hampir seluruh siswa dari berbagai SMP di Kota Kupang tergabung di dalamnya hingga kapasitas anggota penuh. Percakapan mereka sudah mengarah pada konten pornografi,” jelas Marsiana.
Dari hasil penelusuran lebih lanjut, ditemukan 25 anak yang terpapar konten seksual digital, dan sebagian di antaranya telah melakukan eksploitasi seksual antarsesama.
Sebanyak 15 anak kini mendapat pendampingan intensif di Rumah Perlindungan Anak karena mengalami dampak fisik dan psikis dari perilaku menyimpang tersebut.
“Mereka tidak sadar bahwa yang dilakukan itu salah. Bagi mereka, hal ini dianggap sebagai bagian dari pergaulan biasa. Karena itu kami libatkan psikolog anak dan rohaniwan untuk proses pemulihan,” imbuhnya.
Marsiana menuturkan, penyebab utama perilaku ini bukan semata karena faktor ekonomi, melainkan kebutuhan anak-anak untuk diterima dalam pergaulan. Banyak dari mereka berasal dari keluarga broken home, kehilangan figur ayah (fatherless), serta kurang mendapat perhatian dan edukasi nilai moral di rumah.
“Itu yang paling tinggi, karena mereka kehilangan figur bapak, mendapat kekerasan di rumah, dan kehilangan tempat pulang yang aman. Akhirnya mereka mencari validasi di lingkungan luar,” ujar Marsiana.
Ia juga menegaskan pentingnya peran orang tua dalam memantau aktivitas anak di dunia digital.
“Orang tua perlu memperhatikan pergaulan anak di media sosial. Anak-anak ini tidak tahu dampaknya apa, dan hampir semua sekolah yang kami tangani mengalami kasus serupa,” tegasnya.
Menurut data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), pada tahun 2024 tercatat 185 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 174 kasus terhadap anak di Kota Kupang. Sementara hingga Oktober 2025, sudah terdapat 56 kasus baru yang ditangani.
Kasus KSBE ini juga mengungkap adanya praktik eksploitasi seksual dan ekonomi antar anak. Salah satu pelaku, berinisial M, telah melalui proses peradilan dan dijatuhi hukuman 10 tahun penjara karena memperjualbelikan teman sebayanya melalui media sosial.