Kampiunnews | Kupang – Sejak tahun 2018 – Maret 2023 sebanyak 657 peti mati pekerja migran asal Nusa Tenggara Timur (NTT) kembali ke kampung halamannya di NTT. Jumlah peti mati ini dihitung berdasarkan data yang masuk di kargo bandara Eltari Kupang. Para pekerja migran ini meninggal di luar negeri dan mayoritas adalah pekerja migran illegal. Hal ini disampaikan oleh Suster Laurentina, SDP seorang biarawati Katolik yang menjadi aktivis kemanusiaan dan bergiat dalam pelayanan kargo bandara Eltari. Suster Laurentina, SDP dan Pendeta Emmy Sahertian, M.Th menjadi narasumber dalam acara Viral NTT di Radio Tirilolok yang dipandu host Isidorus Lilijawa.
Menurut Suster Laurentina, ada faktor penarik dan pendorong yang membuat anak-anak NTT menjadi pekerja migran ke luar negeri. Faktor penarik paling dominan adalah gaji yang tinggi, jenis pekerjaan yang akrab dengan kehidupan sehari-hari (tidak butuh keahlian tinggi), pengalaman hidup di luar negeri yang menjanjikan dan gaya hidup modern. Adapun faktor pendorong dominan adalah kemudahan karena boleh berhutang bahkan mudah memperoleh dokumen. Kondisi keluarga yang minim juga jadi pendorong. Selain itu, pengangguran, kerja tanpa bayar, tidak lanjutkan studi dan keberhasilan teman jadi pendorong berikutnya.
“Faktor ekonomi adalah alasan utama mengapa anak-anak NTT berbondong-bondong ke luar NTT sebagai pekerja migran. Ada yang menjadi tulang punggung keluarga. Mencari uang di desa sulit karena itu mereka memilih keluar dari kampung.”
Setiap saat ketika menerima peti jenazah di kargo bandara, Suster Laurentina merasa sedih. Apalagi mendengar tangisan keluarga yang kehilangan tulang punggung keluarga. Namun, ia melihat para korban itu adalah bagian kecil dari modus permainan pihak-pihak lain seperti calo, oknum aparat pemerintah, oknum aparat penegak hukum, agensi hingga jaringan mafia lainnya.
Sementara itu, Pendeta Emmy Sahertian melihat persoalan pekerja migran NTT sebagai urusan yang kompleks. “Untuk mengurainya tidak bisa dilakukan hanya oleh satu dua pihak. Harus ada kolaborasi dari berbagai pihak seperti masyarakat, pemerintah, aparat penegak hukum bahkan lembaga-lembaga keagamaan,” tandas Pendeta Emmy. Menurutnya, kebijakan moratorium pengiriman pekerja migran dari NTT ke luar daerah atau ke luar negeri belum maksimal dijalankan. Bahkan semakin memberikan peluang bagi para pekerja migran illegal untuk keluar dari NTT.
“Pemerintah belum tegas menjalankan aturan yang ada. Belum lagi ada keterlibatan aparat dalam kasus perdagangan orang atau pekerja migran illegal. Ini yang membuat urusan pekerja migran di NTT sangat kompleks. Para calo keluar masuk kampung. Sementara para pemain besar belum tersentuh hukum karena dibekingi kekuasaan.”
Satu hal yang dikeluhkan Pendeta Emmy adalah tingginya ego sektoral dalam urusan terkait pekerja migran di NTT. “Kita sudah punya satgas atau gugus tugas pencegahan pekerja migran illegal. Namun ego sektoral dari masing-masing pihak sangat tinggi. Akibatnya satgas ini tidak berperan maksimal.”
Gabriel Goa, Direktur lembaga advokasi PMI, Padma Indonesia, yang dihubungi terpisah menyebut ada dua langkah yang perlu dilakukan untuk mengatasi persoalan pekerja migran illegal di NTT. Pertama, NTT harus sungguh-sungguh mengimplementasikan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2001, tentang pembentukan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, melalui peraturan gubernur, peraturan bupati dan peraturan wali kota, tegasnya.
Gugus Tugas ini, kata Gabriel, harus melibatkan semua pihak yang terlibat. Sehingga tidak lagi terjadi peluang bagi mafioso human trafficking untuk menjadikan NTT sebagai daerah operasi mereka. Kita harus keras terkait ini.
Langkah kedua, menurut Gabriel adalah rebranding PMI NTT dengan perbaikan kompetensi dan kapasitas, sesuai syarat yang ada dalam UU 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Upaya ini ditempuh dengan dua langkah, yaitu penyediaan Balai Latihan Kerja (BLK) dan pembukaan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) di setiap kabupaten/kota di NTT.
“Saat ini, baru ada empat BLK, di mana satu milik pemerintah dan tiga milik perusahaan pengerah pekerja migran Indonesia dan semua berada di Kupang. Sedangkan di pulau Flores, Lembata, Alor, Sabu Raijua, Rote Ndao dan Sumba belum memiliki BLK. LTSA juga baru ada di Maumere, Kota Kupang, Kabupaten Kupang dan Tambolaka. Fakta ini membuktikan penyediaan layanan dari pemerintah masih sangat minim,” lanjut Gabriel.